Jumat, 21 Januari 2011

seagrass

A.Definisi
Lamun (seagrass) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang memiliki rhizoma, daun dan akar sejati yang hidup terendam dalam laut (Romimohtarto dan Juwana, 2007). Sementara Wicaksana (2009) menyatakan bahwa lamun (seagrass) adalah kelompok tumbuhan berbiji tertutup (Angiospermae) dan berkeping tunggal (Monokotil) yang mampu hidup secara permanen di bawah permukaan air laut.

B.Zonasi/Distribusi
Hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, mulai dari substrat berlumpur sampai berbatu. Namun padang lamun yang luas lebih sering ditemukan di substrat lumpur-berpasir yang tebal antara hutan rawa mangrove dan terumbu karang. Sedangkan sistem (organisasi) ekologi padang lamun yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik disebut Ekosistem Lamun (Seagrass ecosystem). Habitat tempat hidup lamun adalah perairan dangkal agak berpasir dan sering juga dijumpai di terumbu karang (Effendi, 2009). Di Indonesia ditemukan jumlah jenis lamun yang relatif lebih rendah dibandingkan Filipina, yaitu sebanyak 12 jenis dari 7 marga (Romimohtarto dan Juwana, 2007).

C.Karakteristik
1.Terdapat di perairan pantai yang landai, di dataran lumpur/pasir, pada batas terendah daerah pasang surut dekat hutan bakau atau di dataran terumbu karang
2.Mampu hidup sampai kedalaman 30 meter, di perairan tenang dan terlindung
3.Sangat tergantung pada cahaya matahari yang masuk ke perairan
4.Mampu melakukan proses metabolisme termasuk daur generatif secara optimal jika keseluruhan tubuhnya terbenam air
5.Mampu hidup di media air asin
6.Mempunyai sistem perakaran yang berkembang baik
7.Akar berkembang dari rhizome dan bagian teredah dari short shoots
8.Daunnya berbentuk seperti pita
9.Penyerbukkan dilakukan dengan media air (hydrophyllous).

D.Adaptasi
1.Mampu beradaptasi pada lingkungan dengan salinitas sedang
2.Mempunyai sistem sauh (anchoring) yang menahan dari aksi gelombang dan arus pasang surut.
E.Organisme yang Berasosiasi
Pada ekosistem ini hidup beraneka ragam biota laut seperti ikan, crustasea, molusca (Pinna sp., Lambis sp., dan Strombus sp.), Echinodermata (Holothuria sp., Synapta sp., Diadema sp., Arcbaster sp., Linckia sp.) dan cacing (Polychaeta) (Bengen, 2001). Di seluruh dunia diperkirakan terdapat sebanyak 52 jenis lamun, di mana di Indonesia ditemukan sekitar 15 jenis yang termasuk ke dalam 2 famili yaitu Hydrocharitaceae, dan Potamogetonaceae (Romimohtarto dan Juwana, 2007).

F.Faktor-faktor yang mengendalikan
1.Suhu
Suhu dapat mempengaruhi metabolisme, penyerapan unsur hara dan kelangsungan hidup lamun Pada kisaran suhu 25 - 30°C fotosintesis bersih akan meningkat dengan meningkatnya suhu. Demikian juga respirasi lamun meningkat dengan meningkatnya suhu, namun dengan kisaran yang lebih luas yaitu 5-35°C.
2.Salinitas
Toleransi lamun terhadap salinitas bervariasi antar jenis dan umur. Lamun yang tua dapat menoleransi fluktuasi salinitas yang besar. Ditambahkan bahwa Thalassia ditemukan hidup dari salinitas 3,5-60 °°/o, namun dengan waktu toleransi yang singkat. Kisaran optimum untuk pertumbuhan Thalassia dilaporkan dari salinitas 24-35 °°/o.
3.Kekeruhan
Kekeruhan secara tidak langsung dapat mempengaruhi kehidupan lamun karena dapat menghalangi penetrasi cahaya yang dibutuhkan oleh lamun untuk berfotosintesis masuk ke dalam air. Kekeruhan dapat disebabkan oleh adanya partikel-partikel tersuspensi, baik oleh partikel-partikel hidup seperti plankton maupun partikel-partikel mati seperti bahan-bahan organik, sedimen dan sebagainya.
4.Kedalaman
Kedalaman perairan dapat membatasi distribusi lamun secara vertikal. Lamun tumbuh di zona intertidal bawah dan subtidal atas hingga mencapai kedalaman 30 m.
5.Nutrien
Unsur N dan P sedimen berada dalam bentuk terlarut di air antara, terjerap/dapat dipertukarkan dan terikat. Hanya bentuk terlarut dan dapat dipertukarkan yang dapat dimanfatkan oleh lamun.
6.Substrat
Tipe substrat dapat mempengaruhi standing crop lamun.

G.Manfaat
Peranan lamun di lingkungan perairan laut dangkal sebagai berikut:
1.Sebagai produsen primer
2.Sebagai habitat biota
3.Sebagai penangkap sedimen
4.Sebagai pendaur zat hara
Selanjutnya Philips & Menez (1988) mengatakan bahwa, lamun juga sudah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat baik secara tradisional maupuin secara modern. Secara tradisional lamun telah dimanfaatkan untuk :
1.Digunakan untuk kompos dan pupuk
2.Cerutu dan mainan anak-anak
3.Dianyam menjadi keranjang
4.Tumpukan untuk pematang
5.Mengisi kasur
6.Ada yang dimakan
7.Dibuat jaring ikan
Sedangkan pada zaman modern, lamun telah dimanfaatkan untuk:
1.Penyaring limbah
2.Stabilizator pantai
3.Bahan untuk pabrik kertas
4.Makanan
5.Obat-obatan dan sumber baha kimia
6.Sumber bahan kimia.

H.Ancaman terhadap organisme/zonasi
1.Kerusakan secara fisik (dredging, prop scars/blowouts)
2.Eutrofikasi
3.Salinity stress
4.Temperature stress

deep sea

A.Definisi
Laut dalam merupakan seluruh zona yang berada di bawah zona eufotik (zona bercahaya), mencakup zona batipelagis, abisal dan hadal (Nontji, 2002). Selain itu, laut dalam juga diartikan sebagai bagian dari lingkungan bahari yang terletak di bawah kedalaman yang dapat diterangi sinar matahari di laut terbuka dan lebih dalam dari paparan benua (>200m) (Nybakken, 1992).

B.Zonasi/Distribusi
Zonasi pada laut dalam didasarkan pada dua hal yaitu perubahan kedalaman atau suhu serta kelimpahan, distribusi atau asosiasi spesies.

C.Karakteristik
1.Kurang atau miskin makanan
2.Kurang atau sekali tidak ada cahaya
3.Tekanan sangat tinggi
4.Minim oksigen
5.Organisme sebagian besar karnivor

D.Adaptasi
Sverdrup et.al 1963, Lager et.al 1962) dan 3 cara penyesuaian (adaptasi) yaitu : tractile structure, food procuring contrivance, dan light production.
1.Tractile structure adalah perubahan anggota tubuh untuk mengatasi keadaan gelap. Misalnya perubahan tubuh menjadi panjang, kecil sehingga ekornya seperti benang, penjuluran sirip-sirip menjadi panjang sekali kadang-kadang sampai dua kali panjang tubuh mula-mula. Bagian ujuang dari pada penjuluran tersebut terdapat alat perasa yang berfungsi sebagai alat peraba mencari mangsa. Umumnya ikan-ikan seperti ini mendiami daerah abyssopelagic yang menurut Sverdrup et.al (1964) seperti Macropharinx langicandatus, Malacostus indicus, dan Lynopryne macrodon. Sedangkan untuk jenis epibentos, sesuai dengan tubuhnya yang lunak, kaki binatang dasar ini sering mempuyai appendages yang panjang, spine dan stalk. Alat-alat tersebut dibutuhkan untuk gerakannya. Contohnya tripod fish, lamp shell, dan erinoid.
2.Food procuring contrivance yaitu suatu usaha untuk memperoleh dan menyimpan makanan. Ikan jenis ini mempunyai mulut yang besar (rahangnya dapat melentur elastis), perut elastis sehingga mampu menelan mangsa 3 kali lebih besar dari padanya. Contoh jenis ini adalah Chauliodus sp., Malacostes sp.,Chiamous sp., Macropharynx sp., Eurypharinx sp.,dan viperfish.
3.Light production adalah penyesuaian untuk meperoleh cahaya. Sering disebut bioluminescence, yaitu cahaya yang dikeluarkan oleh organ tubuh suatu organ tubuh suatu organisme terutama ikan. Seperti sel dalam (intra celluler luminescence), kelenjar kulit (extra celluler luminescence), dan simbiose bakeri (luminescence bacteria symbiont) yaitu simbiose antara ikan dengan bakteri yang mengerluarkan sinar. Fungsi sinar dikeluarkan, bagi ikan laut dalam antara lain:
a.Untuk menari perhatian mangsa
b.Untuk menerangi lingkungan sekitarnya, dan
c.Untuk mengejutkan serta menghindari diri dari musuh. Sebagai contoh lanternfishes (Myctophiformes sp), Malacocephalus leavis, Edriolychenes achimiati, dan belut laut dalam (Synaphobranchus sp.).

E.Organisme yang Berasosiasi
Organisme pada Laut dalam sebagian besar merupakan organisme bentik (polychaeta, arthopoda, mollusca, dan echinodhermata) yang hidup pada detritus dalam sedimen. Spesies ikan yang hidup pada Laut dalam merupakan scavenger dan predator yang berdiversitas tinggi.

F.Faktor-faktor yang mengendalikan
1.Konsentrasi Makanan
Konsentrasi makan yang larut pada laut dalam relatif rendah Pada umumnya konsentrasi makanan berkurang dengan bertambahnya kedalaman laut.
2.Radiasi Matahari
Selain berasal dari organisme yang tergolong dalam bioluminiscence ( yang dapat memproduksi cahaya dari salah satu organ tubuhnya), sumber cahaya di laut dalam juga berasal dari radiasi matahari. Intensitas cahaya dari radiasi matahari semakin berkurang dengan semkin bertambahnya kedalaman, karena absorbsi oleh partikel-partikel air laut dan suspensi material yang larut dalam air (yang berperan dalam memantulkan cahaya yang masuk). Hunter dan Russel (1970) mengatakan bahwa cahaya yang masuk dalam air pada kedalam 3,5m mencapai 50% dari radiasi total yang tiba di permukaan, 10 % pada kedalamn 8m, dan 1% pada kedalaman 100m. Sedangkan pada kedalaman lebih dari 200m cahaya sangat minim atau bahkan tidak ada sama sekali.
3.Tekanan
Pada laut dalam setiap pertemabahan kedalaman 10m maka tekanan naik 1 atmosfer (Sverdrup et al., 1964).
4.Suhu
Suhu merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap organisme laut. Lagler et al (1962) mengatakan bahwa umumnya suhu pada zone mesopelagic berkisar 100C, zone bathypelagic berkisar antara 4-20C pada kedalaman 2000m sedangkan pada zone abyssopelagic dari 40C.

zona epipelagic dan sub tidal

I.Zona epipelagic

A.Definisi
Zona Epipelagic merupakan daerah antara permukaan dengan kedalaman air sekitar 200 meter.

B.Zonasi/Distribusi
Zona epipelagic dibagi menjadi tiga yaitu zona fotik (cahaya cukup untuk fotosintesis), zona disfotik (cahaya cukup lemah untuk fotosintesis) dan zona afotik (tidak ada cahaya)

C.Karakteristik
1.Masih terdapat cahaya matahari
2.Proses fotosintesis terjadi efektif
3.Fitoplakton dan zooplankton berkembang biak dengan aktif dan bermigrasi

II.Zona Sub tidal

A.Definisi
Zona Subtidal merupakan daerah yang terletek antara batas air surut terendah di pantai dengan ujung paparan benua (continental shelf), dengan kedalaman sekitar 200 meter.
B.Zonasi/Distribusi
Zonasi zona subtidal terdiri dari:
1.Lingkungan sedimen tanpa vegetasi
2.Substrat keras yang didominasi oleh tanaman dan hewan berkulit keras
3.Hamparan dan hutan kelp
4.Daerah padang lamun

C.Karakteristik
1.zona ini merupakan zona fotik (masih mendapatkan cahaya)
2.Kedalaman sekitar 200 m
3.Terdiri dari sedimen lunak, pasir, lumpur, dan sedikit daerah dengan substrat keras
4.Turbulensi tinggi
5.Suhu berubah secara musiman
6.Makanan melimpah

D.Adaptasi
Organisme subtidal mampu beradaptasi terhadap perubahan: suhu, salinitas,
kekeruhan, kedalaman, nutrient, dan substrat.

E.Organisme yang Berasosiasi
Organisme yang hidup pada zona subtidal diantaranya: lamun, anemon, siput laut, ganggang coklat, ganggang merah, bintang laut, bulu babi dan sebagainya.

F.Faktor-faktor yang mengendalikan
Zona perairan subtidal dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan antara lain : pergerakan ombak, salinitas, suhu, penetrasi cahaya, persediaan
makanan, topografi.

Mangrove

A.Definisi
Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae,1968 dalam Supriharyono, 2000). Supaya tidak rancu, Macnae menggunakan istilah “mangal” apabila berkaitan dengan komunitas hutan dan “mangrove” untuk individu tumbuhan.

B.Zonasi/Distribusi
Penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Bengen (2001) menyebutkan salah satu tipe zonasi hutan mangrore di Indonesia adalah sebagai berikut:
1.Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik.
2.Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp.
3.Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp.
4.Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya.
Sementara Macnae (1966) dalam Santoso (2000), membagi zonasi mangrove sebagai berikut :
1.menuju ke darat
(a)zone Ceriops semak belukar
(b)zone Bruguiera hutan
(c)zone Rhizophora hutan
2.menuju ke laut
(a)Avicennia zone
(b) Sonneratia zone

C. Karakteristik
1.Tumbuh di atas perairan payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut
2.Mampu bertahan pada lingkungan dengan konsentrasi garam tinggi
3.Mempunyai Spesialisasi Akar
4.Reproduktif

D.Adaptasi
Menurut Bengen (2001) tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap lingkungan. Bentuk adaptasi tersebut adalah sebagai berikut:
1.Adaptasi terhadap kadar oksigen rendah,
Habitat dengan kadar oksigen yang rendah menyebabkan mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas yaitu bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora (misalnya : Avecennia spp., Xylocarpus., dan Sonneratia spp.) untuk mengambil oksigen dari udara dan bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel (misalnya Rhyzophora spp.).
2.Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi
Bentuk adaptasinya diataranya:
-Memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam.
-Berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam.
-Daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan.
3.Adaptasi terhadap tanah yang kurang strabil dan adanya pasang surut
Bentuk adaptasiya dengan cara mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horisontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.

E.Organisme yang Berasosiasi
Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga : Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen, 2000).

F.Faktor-faktor yang mengendalikan
Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan mangrove di suatu lokasi adalah :
1.Fisiografi pantai (topografi)
Pada pantai yang landai, komposisi ekosistem mangrove lebih beragam jika dibandingkan dengan pantai yang terjal. Hal ini disebabkan karena pantai landai menyediakan ruang yang lebih luas untuk tumbuhnya mangrove sehingga distribusi spesies menjadi semakin luas dan lebar. Pada pantai yang terjal komposisi, distribusi dan lebar hutan mangrove lebih kecil karena kontur yang terjal menyulitkan pohon mangrove untuk tumbuh.
2.Pasang (lama, durasi, rentang)
Pasang yang terjadi di kawasan mangrove sangat menentukan zonasi tumbuhan dan komunitas hewan yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove. Secara rinci pengaruh pasang terhadap pertumbuhan mangrove dijelaskan sebagai berikut:
a.Lama pasang
-Lama terjadinya pasang di kawasan mangrove dapat mempengaruhi perubahan salinitas air dimana salinitas akan meningkat pada saat pasang dan sebaliknya akan menurun pada saat air laut surut
-Perubahan salinitas yang terjadi sebagai akibat lama terjadinya pasang merupakan faktor pembatas yang mempengaruhi distribusi spesies secara horizontal.
-Perpindahan massa air antara air tawar dengan air laut mempengaruhi distribusi vertikal organisme
b.Durasi pasang :
-Struktur dan kesuburan mangrove di suatu kawasan yang memiliki jenis pasang diurnal, semi diurnal, dan campuran akan berbeda.
-Komposisi spesies dan distribusi areal yang digenangi berbeda menurut durasi pasang atau frekuensi penggenangan. Misalnya : penggenagan sepanjang waktu maka jenis yang dominan adalah Rhizophora mucronata dan jenis Bruguiera serta Xylocarpus kadang-kadang ada.
c.Rentang pasang (tinggi pasang):
-Akar tunjang yang dimiliki Rhizophora mucronata menjadi lebih tinggi pada lokasi yang memiliki pasang yang tinggi dan sebaliknya
-Pneumatophora Sonneratia sp menjadi lebih kuat dan panjang pada lokasi yang memiliki pasang yang tinggi.
3.Gelombang dan arus
-Gelombang dan arus dapat merubah struktur dan fungsi ekosistem mangrove.
Pada lokasi-lokasi yang memiliki gelombang dan arus yang cukup besar biasanya hutan mangrove mengalami abrasi sehingga terjadi pengurangan luasan hutan.
-Gelombang dan arus juga berpengaruh langsung terhadap distribusi spesies misalnya buah atau semai Rhizophora terbawa gelombang dan arus sampai menemukan substrat yang sesuai untuk menancap dan akhirnya tumbuh.
-Gelombang dan arus berpengaruh tidak langsung terhadap sedimentasi pantai dan pembentukan padatan-padatan pasir di muara sungai. Terjadinya sedimentasi dan padatan-padatan pasir ini merupakan substrat yang baik untuk menunjang pertumbuhan mangrove
-Gelombang dan arus mempengaruhi daya tahan organisme akuatik melalui transportasi nutrien-nutrien penting dari mangrove ke laut. Nutrien-nutrien yang berasal dari hasil dekomposisi serasah maupun yang berasal dari run off daratan dan terjebak di hutan mangrove akan terbawa oleh arus dan gelombang ke laut pada saat surut.
4.Iklim (cahaya,curah hujan, suhu, angin)
Iklim mempengaruhi perkembangan tumbuhan dan perubahan faktor fisik (substrat dan air). Pengaruh iklim terhadap pertimbuhan mangrove melalui cahaya, curah hujan, suhu, dan angin. Penjelasan mengenai faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
a.Cahaya
-Cahaya berpengaruh terhadap proses fotosintesis, respirasi, fisiologi, dan struktur fisik mangrove
-Intensitas, kualitas, lama (mangrove adalah tumbuhan long day plants yang membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi sehingga sesuai untuk hidup di daerah tropis) pencahayaan mempengaruhi pertumbuhan mangrove
-Laju pertumbuhan tahunan mangrove yang berada di bawah naungan sinar matahari lebih kecil dan sedangkan laju kematian adalah sebaliknya
-Cahaya berpengaruh terhadap perbungaan dan germinasi dimana tumbuhan yang berada di luar kelompok (gerombol) akan menghasilkan lebih banyak bunga karena mendapat sinar matahari lebih banyak daripada tumbuhan yang berada di dalam gerombol.
b.Curah hujan
-Jumlah, lama, dan distribusi hujan mempengaruhi perkembangan tumbuhan mangrove
-Curah hujan yang terjadi mempengaruhi kondisi udara, suhu air, salinitas air dan tanah
-Curah hujan optimum pada suatu lokasi yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mangrove adalah yang berada pada kisaran 1500-3000 mm/tahun
c.Suhu
-Suhu berperan penting dalam proses fisiologis (fotosintesis dan respirasi)
-Produksi daun baru Avicennia marina terjadi pada suhu 18-20 oC dan jika suhu lebih tinggi maka produksi menjadi berkurang
d.Angin
-Angin mempengaruhi terjadinya gelombang dan arus
-Angin merupakan agen polinasi dan diseminasi biji sehingga membantu terjadinya proses reproduksi tumbuhan mangrove
5.Salinitas
-Salinitas optimum yang dibutuhkan mangrove untuk tumbuh berkisar antara 10-30 ppt
-Salinitas secara langsung dapat mempengaruhi laju pertumbuhan dan zonasi mangrove, hal ini terkait dengan frekuensi penggenangan
-Salinitas air akan meningkat jika pada siang hari cuaca panas dan dalam keadaan pasang
-Salinitas air tanah lebih rendah dari salinitas air
6.Oksigen terlarut
-Oksigen terlarut berperan penting dalam dekomposisi serasah karena bakteri dan fungsi yang bertindak sebagai dekomposer membutuhkan oksigen untuk kehidupannya.
-Oksigen terlarut juga penting dalam proses respirasi dan fotosintesis
-Oksigen terlarut berada dalam kondisi tertinggi pada siang hari dan kondisi terendah pada malam hari
7.Substrat
-Karakteristik substrat merupakan faktor pembatas terhadap pertumbuhan mangrove. Rhizophora mucronata dapat tumbuh baik pada substrat yang dalam/tebal dan berlumpur. Sementara Avicennia marina dan Bruguiera hidup pada tanah lumpur berpasir.
-Tekstur dan konsentrasi ion mempunyai susunan jenis dan kerapatan tegakan
Misalnya jika komposisi substrat lebih banyak liat (clay) dan debu (silt) maka
tegakan menjadi lebih rapat
8.Hara
Unsur hara yang terdapat di ekosistem mangrove terdiri dari hara anorganik (P,K,Ca,Mg,Na) dan organik yang terdiri dariAllochtonous dan Autochtonous (fitoplankton, bakteri, alga).

G.Manfaat
Fungsi ekologis dan ekonomis hutan mangrove menurut Santoso dan Arifin, (1998) :
1. Fungsi ekologis :
-pelindung garis pantai dari abrasi,
-mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan,
-mencegah intrusi air laut ke daratan,
-tempat berpijah aneka biota laut,
-tempat berlindung dan berkembangbiak berbagai jenis burung, mamalia, reptil, dan serangga,
-sebagai pengatur iklim mikro.
2. Fungsi ekonomis :
-penghasil keperluan rumah tangga (kayu bakar, arang, bahan bangunan, bahan
-makanan, obat-obatan),
-penghasil keperluan industri (bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak kulit, pewarna),
-penghasil bibit ikan, nener udang, kepiting, kerang, madu, dan telur burung,
-pariwisata, penelitian, dan pendidikan.

H.Ancaman
Menurut Berwick (1983) dalam Dahuri, et al., (1996), ada beberapa hal yang mengancam kelestarian ekosistem mangrove yaitu:
1.Tebang habis
2.Pengalihan aliran air tawar, misalnya pada pembangunan irigasi
3.Konversi menjadi lahan pertanian, perikanan
4.Pembuangan sampah cair (Sewage)
5.Pembuangan sampah padat
6.Pencemaran minyak akibat terjadinya tumpahan minyak dalam jumlah besar.

ekosistem estuari


A.           Pengertian Estuari
  • Lauff (1961) : Estuaria sebagai perairan yang semi tertutup menerima air tawar yang mengalir dari daratan dan sekitarnya serta mempunyai hubungan bebas dengan laut lepas.
  • Reid (1961): Estuaria sebagai perairan tertutup yang mempunyai hubungan langsung dengan laut dan keadaan lingkungannya sangat dipengaruhi oleh aktifitas pasang surut, sehingga terjadi pencampuran dengan air tawar.
  • Knight (1965): Estuaria adalah saluran dimana air pasang-surut yang datang dengan arus sungai, daerah tersebut merupakan bagian dari laut yang terletak pada ujung dari muara sungai.
  • Pritchard (1967): estuaria adalah suatu perairan pesisir yang semi tertutup yang mempunyai hubungan bebas dengan laut lepas.
  • Odum (1972): Estuaria adalah muara sungai dimana terjadi arus pasang-surut yang mengakibatkan adanya percampuran antara air laut dengan air tawar.
·        Dyer (1997): Estuaria adalah perairan yang semi tertutup yang berhubungan bebas dengan laut, meluas ke sungai sejauh batas pasang naik, dan bercampur dengan air tawar, yang berasal dari drainase daratan.
B.           Tipe Estuari
1.      Coastal plain estuari atau Drowned river valleys, yaitu tipe estuaria yang berbentuk lembah, banyak dijumpai di daerah temperate. Kedalaman estuaria umumnya raetip dalam, bias mencapai sekitar 30 m. Masukan air tawar dari sungai relatif kecil dibandingkan dengan volume air laut ketika pasang. (Kurniawan, 2010)
2.      Bar-built estuaries, yaitu estuaria yang hubungannya dengan laut lepas dibatasi dengan timbunan atau palung pasir, yang biasanya berbentuk lonjong sejajar pantai. Kedalaman estuaria ini biasanya dangkal, hanya beberapa meter saja dan sering mempunyai goba atau laguna yang ekstensif, serta jalan keluar air di mulut estuaria yang sangat dangkal. Tipe ini banyak dijumpai di daerah tropis atau daerah-daerah yang pantainya aktif menerima endapan sedimen. (Kurniawan, 2010)
3.      Tectonic Estuary; terbentuk akibat aktivitas tektoknik (gempa bumi atau letusan gunung berapi) yang mengakibatkan turunnya permukaan tanah yang kemudian digenangi oleh air laut pada saat pasang (Efendi, 2009).
4.      Fjords; merupakan estuaria yang dalam, terbentuk oleh aktivitas glasier yang mengakibatkan tergenangnya lembah es oleh air laut.  Fjord Estuary banyak dijumpai di daerah temperate dan terbentuk akibat pelelehan gunung es (glaciers) ketika jaman Pleistocene. Di mulut esturia biasanya terdapat sill (dataran lembah yang mencuat), sehingga perairan di bagian tersebut cukup dangkal. Sedangkan kedalaman lembah (water basin) di bawah sill sangat dalam, bias mencapai sekitar 300-400 m, bahkan ada yang mencapai 800 m. masukan air tawar dari sungai relative besar dibandingkan dengan volume air laut ketika pasang, sedangkan yang keluar dari sungai dibandingkan dengan total volume fjord relative kecil (Kurniawan, 2010).
C.          Karakter fisik Estuari
Menurut Efendi (2009), perpaduan antara beberapa sifat fisik estuaria mempunyai peranan yang penting terhadap kehidupan biota estuaria. Beberapa sifat fisik yang penting adalah sebagai berikut:
1.      Salinitas. Estuaria memiliki gradien salinitas yang bervariasi, terutama bergantung pada masukan air tawar dari sungai dan air laut melalui pasang-surut. Variasi ini menciptakan kondisi yang menekan bagi organisme, tapi mendukung kehidupan biota yang padat dan juga menangkal predator dari laut yang pada umumnya tidak menyukai perairan dengan salinitas yang rendah.
2.      Substrat. Sebagian besar estuaria didominasi oleh substrat berlumpur yang berasal dari sedimen yang dibawa melalui air tawar (sungai) dan air laut. Sebagian besar partikel lumpur estuaria bersifat organik, sehingga substrat ini kaya akan bahan organik. Bahan organik ini menjadi cadangan makanan yang penting bagi organisme estuaria.
3.      Sirkulasi air. Selang waktu mengalirnya air dari sungai ke dalam estuaria dan masuknya air laut melalui arus pasang-surut menciptakan suatu gerakan dan transport air yang bermanfaat bagi biota estuaria, khususnya plankton yang hidup tersuspensi dalam air.
4.      Pasang-surut. Arus pasang-surut berperan penting sebagai pengangkut zat hara dan plankton. Di samping itu arus ini juga berperan untuk mengencerkan dan menggelontorkan limbah yang sampai di estuaria
5.      Penyimpanan zat hara. Peranan estuaria sebagai penyimpan zat hara sangat besar. Pohon mangrove dan lamun serta ganggang lainnya dapat mengkonversi zat hara dan menyimpannya sebagai bahan organik yang akan digunakan kemudian oleh organisme hewani

D.          Adaptasi Biota pada Daerah Estuari
Adaptasi pada daerah estuary digolongkan menjadi 3 yaitu;
1.      Adaptasi morfologis : organisme yang hidup di Lumpur memiliki rambut-rambut halus (setae) untuk menghambat penyumbatan-penyumbatan permukaan ruang pernapasan oleh partikel Lumpur.
2.      Adaptasi fisiologis : berkaitan dengan mempertahankan keseimbangan ion cairan tubuh dalam menghadapi fluktuasi salinitas eksternal.
3.      Adaptasi tingkah laku : pembuatan lubang ke dalam Lumpur oleh rganisme, khususnya invertebrata.
Variasi salinitas di daerah estuaria menentukan keragaman biota di daerah estuari. Hewan-hewan yang hidup di perairan payau (salinitas 0,5 - 30), hipersaline (salinitas 40 - 80), atau air garam (salinitas > 80), biasanya mempunyai toleransi terhadap kisaran salinitas yang lebih besar dibandingkan dengan organisme yang hidup di air laut atau air tawar. Organisme yang dapat tahan terhadap konsentrasi garam mulai dari air berkristal dalam kondisi kehidupan latent (benih, spora,cysta), dan mulai dari air destilata sampai salinitas hampir mencapai 300o/oo dalam kondisi kehidupan yang aktif. (Christina et all.,2010).

E.           Tipe Komunitas Estuari
1.      Open water
Pada daerah ini berbatasan langsung dengan daerah pantai.
2.      Mudflats
Mudflats dicirikan oleh ukuran butiran sedimen sangat halus dan memiliki tingkat bahan organik yang tinggi, daerah ini dipengaruhi oleh pasang surut yang mengaduk sedimen secara periodik. Interaksi organisme dengan sedimen dan pengaruh evaporasi perairan yang sangat tinggi di lingkungannya (Nurul, 2009). Dataran lumpur estuaria sering kali banyak mengandung flora diatom bentik dari pada plantonik (Anoni, 2010)
3.      Salt marshes
Vegetasi dominan pada daerah salt marshes adalah tumbuhan bunga berumur panjang yang menancapkan akarnya  di daerah intertidal bagian atas dan memagari estuari diseluruh daerah  beriklim sedang di dunia.  Jenis yang dominan yaitu Spartina dan Salicornia.  Di daerah tropik, rawa asin diganti oleh hutan bakau (Anonim, 2010).

4.      Mangrove forest
Pada daerah ini didominasi oleh pohon-pohon dan semak-semak yang tumbuh dibawah muka air pasang tertinggi. Sistem perakarannya terendam secara teratur oleh air laut, bahkan yang tercampur dengan air tawar. Vegetasi mangrove memiliki bentuk dan ukuran yang beragam dari bentuk pohon yang menjulang tinggi samapi bentuk epifit yang menjalar. mangrove umumnya berkembang sepanjang wilayah pantai terlindung dengan dasar Lumpur sampai pasir. Tetapi dalam beberapa kasus mereka ditemukan pada pantai berbatu yang tersapu gelombang (Sunarto, 2008)
5.      Other