Senin, 12 Maret 2012

Polikultur,Alternatif Budidaya Ikan yang Menjanjikan


Akuakultur adalah usaha pemeliharaan atau budidaya biota (organisme) air dalam perairan yang terkontrol maupun semi terkontrol. Akuakultur memberikan gambaran tentang pengelolaan ikan dalam budidaya dengan baik yang mencakup bagaimana kita mengenal jenis pakan dan intensitas pakan bagi organisme air, hama penyakit yang menyerang ikan, tingkah laku dan sebagainya. Di Indonesia, akuakultur dapat menjadi alternatif untuk mengatasi beberapa masalah dalam perikanan tangkap seperti terjadinya overfishing dan masalah persaingan dengan nelayan-nelayan asing. Selain itu, budidaya air tawar (akuakultur) juga dapat menjadi elemen yang menghasilkan pendapatan. Budidaya ikan dalam skala besar (komersial) dapat menciptakan lapangan kerja baik secara langsung maupun tidak langsung. Usaha budidaya ikan dibedakan menjadi dua yaitu budidaya ikan secara monokultur dan budidaya ikan secara polikultur. 
Menurut Afrianto dan Liviawaty (2003) sistem polikultur yaitu pada satu kolam dipelihara berbagai jenis ikan yang membutuhkan jenis makanan yang berbeda sehingga setiap jenis ikan tidak akan bersaing dalam mencari makanan. Untuk meningkatkan produktifitas kolam banyak petani ikan menerapkan sistem polikultur ini.
Usaha budidaya ikan secara polikultur membutuhkan teknik dan manajemen tertentu. Untuk mendapatkan hasil panen yang baik kita perlu memperhatikan tahapan-tahapan dalam budidaya ikan. Tahapan-tahapan tersebut dimulai dari tahap persiapan, tahap penebaran, tahap pemeliharaan, dan tahap pemanenan. Dalam pemeliharaan, kita perlu memperhatikan tentang manajemen pakan, kualitas air, dan monitoring terhadap hama dan penyakit ikan. Dengan mempertahankan setiap tahap dalam budidaya ikan, maka kita dapat memaksimalkan produktivitas ikan dan menghasilkan survival rate yang tinggi. Pemilihan spesies atau kultivan dalam budidaya polikultur juga menjadi faktor penentu keberhasilan budidaya polikultur. Spesies atau kultivan yang akan dibudidayakan hendaknya memiliki habitat hidup yang berbeda. Sebab, tujuan dari budidaya polikultur adalah memaksimalkan daya dukung kolam (carrying capacity) dengan memanfaatkan seluruh kolom air pada kolam.
 Budidaya ikan patin dan ikan nila merah dalam satu wadah budidaya merupakan salah satu contoh budidaya polikultur. Pemilihan kedua spesies ini dikarenakan ikan patin merupakan ikan yang suka hidup di dasar perairan sedangkan ikan nila merah merupakan ikan yang suka hidup di permukaan sehingga penggunaan kedua spesies ini diharapkan dapat mengoptimalkan potensi daya dukung kolam (carrying capacity) dengan memanfaatkan seluruh ruang pada kolam.

Sistem polikultur memiliki keuntungan antara lain (Afrianto dan Liviawaty, 2003):
1.   Makanan alamiah yang tersedia di kolam dapat dimanfaatkan oleh ikan secara efektif, sehingga tidak ada lagi makanan alamiah yang terbuang sia-sia,
2.   Penggunaan lahan menjadi efisien, karena dalam luas yang sama dapat dipelihara ikan dengan kepadatan yang lebih tinggi,
3.   Secara keseluruhan, produksi kolam akan meningkat karena jumlah ikan yang dipelihara dalam satu kolam lebih banyak,
4.  Produksi tiap spesies ikan akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil pemeliharaan dengan sistem monokultur. Diduga telah terjadi peningkatan produksi makanan alamiah sebagai akibat dari proses pemupukan oleh kotoran ikan,
5.    Tingkat kepadatan setiap spesies ikan pada sistem polikultur umumnya sama atau sedikit lebih rendah bila dibandingkan dengan tingkat kepadatan spesies tersebut pada sistem monokultur. Ini dimungkinkan karena setiap ikan mempunyai jenis atau daerah makan yang berbeda. 
            Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa budidaya ikan secara polikultur lebih menguntungkan dibandingkan budidaya ikan secara monokultur. Pengefisiensian kolom kolam menjadi penyebab mengapa budidaya polikultur lebih menguntungkan dan menjanjikan.
          


Senyawa-senyawa Nitrogen dalam Perairan

       Nitrogen merupakan salah satu unsur penting bagi pertumbuhan organisme dan proses pembentukan protoplasma, serta merupakan salah satu unsur utama pembentukan protein. Di perairan nitrogen biasanya ditemukan dalam bentuk ammonia, ammonium, nitrit dan nitrat serta beberapa senyawa nitrogen organik lainnya. Pada umumnya nitrogen diabsorbsi oleh fitoplankton dalam bentuk nitrat (NO3 – N) dan ammonia (NH3 – N). Fitoplankton lebih banyak menyerap NH3 – N dibandingkan dengan NO3 – N karena lebih banyak dijumpai diperairan baik dalam kondisi aerobik maupun anaerobik.Senyawa-senyawa nitrogen ini sangat dipengaruhi oleh kandungan oksigen dalam air, pada saat kandungan oksigen rendah nitrogen berubah menjadi amoniak (NH3) dan saat kandungan oksigen tinggi nitrogen berubah menjadi nitrat (NO3 ) (Welch, 1980).
       Sumber ammonia di perairan adalah hasil pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air, juga berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati) yang dilakukan oleh mikroba dan jamur yang dikenal dengan istilah ammonifikasi. Nitrit (NO2) biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit di perairan alami, kadarnya lebih kecil daripada nitrat karena nitrit bersifat tidak stabil jika terdapat oksigen. Nitrit merupakan bentuk peralihan antara ammonia dan nitrat serta antara nitrat dan gas nitrogen yang biasa dikenal dengan proses nitrifikasi dan denitrifikasi (Effendi, 2003).

Daftar Pustaka

Effendie. 2003. Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumberdaya dan lingkungan perairan. Kanisius. Yogyakarta. 
Welch, P. S. 1980. Limnologi Methods. Mc. Grawhill Book Company Inc. New York.

       

Eutrofikasi dan Dampaknya terhadap Ekosistem Perairan Tawar

A. Latar Belakang
Ekosistem air tawar dapat terbagi menjadi dua yaitu perairan tergenang dan perairan mengalir. Perairan tergenang adalah perairan diam dengan volume air yang relatif konstan. Sedangkan perairan mengalir adalah perairan yang menuju ke suatu badan air dengan debit air tertentu dan volume air yan berubah-ubah. Aliran air yang masuk ke badan air baik perairan tergenang maupun perairan mengalir sering membawa bahan-bahan buangan organik dan anorganik. Aktivitas penduduk sekitar perairan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kualitas suatu perairan. Salah satu akibat pembuangan limbah dari penduduk ke perairan adalah terjadinya eutrofikasi pada perairan.

B. Pembahasan
        Eutrofikasi merupakan pengkayaan (enrichment) air dengan adanya nutrient (nitrogen dan fosfor) yang berupa bahan anorganik dan sanat dibutuhkan oleh tumbuhan dan dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan produktivitas primer perairan (Mason, 1993). Proses pengkayaan unsur hara pada daerah perairan merupakan suatu proses yang penting dalam pencemaran air. Adanya proses pengkayaan unsure hara pada air, menyebabkan ransangan terhadap pertumbuhan ganggang dan makrofit. Pertumbuhan ganggang dan makrofit yang abnormal akan menyebabkan memburuknya sumber daya perikanan dan menurunnya kualitas air.
       Menurut Goldmen and Horne (1983), eutrofikasi perairan danau dibagi menjadi dua yaitu eutrofikasi kultural (cultural eutrophication) dan eutrofikasi alamiah (natural eutrophication). Eutrofikasi kultural disebabkan oleh terjadinya proses peningkatan unsur hara di perairan oleh aktivitas manusia yang terjadi di sepanjang aliran sungai masuk inlet ke perairan danau (Payne, 1986). Sedangkan eutrofikasi alamiah (natural eutrophication) terjadi akibat adanya aliran yang masuk yang membawa detritus tanaman, garam-garaman dan disimpan dalam badan air selama waktu geologis. Kondisi ini akan terjadi apabila tanpa campur tangan manusia yang sifatnya mengganggu (Goldmen and Horne, 1983).
       Limbah yang masuk ke perairan secara terus-menerus, terutama limbah organik dapat menyebabkan terjadinya pengkayaan terhadap hara yang ada di badan air, sehingga dapat menghasilkan suksesi perairan yang disebut eutrofikasi. Eutrofikasi dapat dikarenakan beberapa hal, diantaranya: karena ulah manusia yang tidak ramah terhadap lingkungan. Aktivitas manusia di bidang pertanian menyumbang penggaruh besar terhadap terjadinya eutrofikasi. Para petani biasanya menggunakan pestisida atau insektisida untuk memberantas hama tanaman agar tanaman tidak rusak. Namun botol-botol bekas pestisida atau insektisida tersebut dibuang secara sembarangan baik di sekitar lahan pertanian maupun di daerah aliran air seperti sungai dan parit. Hal inilah yang mengakibatkan pestisida dapat berada di tempat lain yang jauh dari area pertanian karena mengikuti aliran air hingga sampai ke sungai-sungai atau danau di sekitarnya. Selain itu, limbah organik yang berasal dari sisa-sisa atau buangan dari rumah tangga, industri, pemukiman, peternakan, dan perikanan juga dapat menyebabkan terjadinya eutrofikasi. Limbah organik tersebut berupa bahan organik yang biasanya tersusun oleh karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, fosfor, sulfur dan mineral lainnya. Limbah organik yang masuk ke dalam perairan dalam bentuk padatan yang terendap, koloid, tersuspensi dan terlarut. Pada umumnya, limbah organik yang berbentuk padatan akan langsung mengendap menuju dasar perairan sedangkan bentuk lainnya berada di badan air, baik di bagian yang aerob maupun anaerob. Semakin terakumulasinya limbah organik dalam perairan dapat menurunkan kualitas perairan, sehingga dapat membahayakan bagi kehidupan organisme perairan. Proses terjadinya pengkayaan perairan tawar oleh unsur hara berlangsung dalam waktu yang cukup lama, namun proses tersebut dapat dipercepat oleh berbagai aktivitas penduduk di sekitar perairan. Peningkatan jumlah penduduk yang semakin tinggi di sekitar perairan, dapat mengganggu keseimbangan lingkungan perairan. Hal ini akan memberikan kontribusi pada laju penambahan zat hara dan limbah organik lainnya yang masuk ke badan air. Jumlah unsur hara yang masuk ke badan perairan biasanya lebih besar dari pemanfaatan unsur hara tersebut oleh biota perairan, sehingga akan terjadi penyuburan yang berlebihan (Ahl, 1980). Proses ini akan menjadi masalah besar jika perairan telah mulai menunjukkan gejala-gejala adanya eutrofikasi yaitu apabila telah terjadi peningkatan produktivitas yang disebabkan oleh masuknya bahan organik yang cukup drastik, sehingga dapat mempercepat terjadinya pengkayaan dan terjadinya pencemaran. Pengisian dan peningkatan sedimen secara cepat akan menyebabkan semakin cepat pula terbetuknya rawa dan hilangnya perairan (Payne, 1986). Menurut Goldman & Horne (1983) dan Sastrawijaya (2000), fosfor dan nitrogen merupakan unsur pembatas dalam proses eutrofikasi. Bila rasio N dan P > 12, maka sebagai faktor pembatas adalah P, sedangkan rasio N dan P < 7 sebagai pembatas adalah N. Rasio N dan P yang berada antara 7 dan 12 menandakan bahwa N dan P bukan sebagai faktor pembatas (non-limiting factor).
        Gejala eutrofikasi di perairan danau biasanya ditunjukkan dengan melimpahnya konsentrasi unsur hara dan perubahan parameter kimia seperti oksigen terlarut (DO), kandungan klorofil-a dan turbiditas serta produktivitas primer. Adanya Eutrofikasi pada suatu perairan juga dapat diketahui apabila telah terjadi perubahan warna air menjadi kehijauan, air yang keruh dan berbau busuk.
Limbah organik yang masuk ke suatu perairan akan mengalami dekomposisi dan menghasilkan senyawa nutrien (nitrogen dan fosfor) yang menyuburkan perairan. Nitrogen dan Fosfor merupakan unsur kimia yang diperlukan alga (fitoplankton) untuk hidup dan pertumbuhannya. Peningkatan kelimpahan fitoplankton akan diikuti dengan peningkatan kelimpahan zooplankton. Dikarenakan fitoplankton dan zooplankton adalah makanan utama ikan, maka kenaikan kelimpahan keduanya akan menaikan kelimpahan (produksi) ikan dalam badan air tersebut. Akan tetapi peningkatan konsentrasi nutrien yang berkelanjutan dalam badan air, apalagi dalam jumlah yang cukup besar akan menyebabkan badan air menjadi sangat subur atau eutrofik dan akan merangsang fitoplankton untuk tumbuh dan berkembang-biak dengan pesat sehingga terjadi blooming sebagai hasil fotosintesa yang maksimal dan menyebabkan peningkatan biomasa perairan tersebut.
         Peningkatan biomassa perairan karena fitoplankton akan merugikan dan mengancam keberlanjutan fauna karena perairan didominasi oleh fitoplankton yang tidak dapat dimakan dan beracun. Blooming yang menghasilkan biomasa tinggi juga merugikan fauna karena fenomena blooming selalu diikuti dengan penurunan oksigen terlarut secara drastis akibat pemanfaatan oksigen yang berlebihan untuk dekomposisi biomasa (bahan organik) yang mati. Rendahnya konsentrasi oksigen terlarut apalagi sampai batas nol akan menyebabkan ikan dan fauna lainnya tidak bisa hidup dengan baik dan mati. Selain menekan oksigen terlarut proses dekomposisi tersebut juga menghasilkan gas beracun seperti NH3 dan H2S yang pada konsentrasi tertentu dapat membahayakan fauna air, termasuk ikan. Selain badan air didominasi oleh fitoplankton yang tidak ramah lingkungan, eutrofikasi juga merangsang pertumbuhan tanaman air lainnya, seperti eceng gondok (Eichhornia crassipes) dan hydrilla. Oleh karena itu, pada rawa-rawa dan danau-danau yang telah mengalami eutrofikasi tepiannya ditumbuhi dengan subur oleh tanaman air seperti eceng gondok (Eichhornia crassipes) dan hydrilla. Selain menyuburkan fiplankton dan tanaman air, eutrofikasi juga menyuburkan cyanobacteria (blue-green algae) yang diketahui mengandung toksin sehingga membawa risiko kesehatan bagi manusia dan hewan. Adanya cyanobacteria akan meningkatnya penyakit kulit pada manusia.

C. Kesimpulan
Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa:
1. Eutrofikasi merupakan pengkayaan (enrichment) air dengan adanya nutrient (nitrogen dan fosfor) yang berupa bahan anorganik dan sanat dibutuhkan oleh tumbuhan dan dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan produktivitas primer perairan
2. Eutrofikasi disebabkan oleh peningkatan biomassa akibat meingkatnya fitolankton
3. Adanya eutrofikasi menyebabkan melimpahnya konsentrasi unsur hara dan perubahan parameter kimia seperti oksigen terlarut (DO), kandungan klorofil-a dan turbiditas serta produktivitas primer
4. Adanya Eutrofikasi pada suatu perairan juga dapat diketahui apabila telah terjadi perubahan warna air menjadi kehijauan, air yang keruh dan berbau busuk.



Daftar Pustaka
Ahl, T. (1980), Eutrofication of Norwegian Freshwater in Relation to Natural Conditions. in: Eutrofication of Deep Lakes, Progress in Water Technology, 12(2):49 – 61.
Goldman, C.R. dan Horne, A.J. 1989. Limnology. McGraw Hill Company. New York.
Mason. 1993. Biology of Freshwater Pollution. John Willey and Sons. New York.
Sastrawijaya, A. T. 2000. Pencemaran Lingkungan. Edisi kedua. Rineka Cipta. Jakarta.
Payne, A.I. 1986. The Ecology of Tropical Lake and Rivers. John Wiley and Sons. New York.